Kasus Mengenai Philip
Morris Trobles
Kasus ini berawal saat Japan
Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HKI. Philip Morris tak terima dengan
merek tersebut karena dianggap sama dengan merek produknya Marlboro Cleartaste.
Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat.
Marlboro merupakan merek rokok
yang diproduksi oleh Philip Morris International, perusahaan rokok nomor satu
dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun 1904. Philip
Morris Brands Sari kembali bersengketa di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Perusahaan rokok asal Swiss ini menggugat pembatalan merek rokok Clear milik
Japan Tobacco Inc.
Berdasarkan berkas gugatan yang
diperoleh KONTAN, menyebutkan Philip Morris tidak terima atas pendaftaran merek
Clear milik Japan Tobacco. Pasalnya, merek Clear tersebut dianggap sebagai
penghambat pendaftaran merek Marlboro Cleartaste miliknya di Ditjen HKI. Philip
Morris mengklaim sebagai penggugat yang beritikad baik. Salah satu raksasa
rokok ini menghasilkan produk Marlboro Cleartaste di Rusia. Pihaknya berniat
ekspansi ke Indonesia dengan menjual produk-produk yang sama sesuai peraturan
undang-undang yang berlaku.
Merek Cleartaste sedang proses
mendaftarkan diri di Ditjen HKI dengan nomor agenda D00.2012.011226 sejak
tanggal 12 Maret 2012. Philip Morris juga mendaftarkan merek Marlboro Micro
Cleartaste dan lukisan dengan nomor agenda D00.2012.017162 tanggal 16 April
2012.
Sementara, merek Clear terdaftar
sejak 5 November 2007 dengan No. IDM 000143879 untuk melindungi jenis barang di
kelas 34 seperti rokok, tembakau kasar dan yang sudah dikerjakan, barang-barang
keperluan perokok, dan korek api. Philip Morris menyebut merek Clear sudah
tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut. Selain itu, pihaknya juga
tidak menemukan tarif cukai hasil tembakau dengan merek Clear. Sesuai dengan pasal
61 Undang-undang No.15 tahun 2001 tentang merek, merek Clear bisa dibatalkan.
Lantaran itu, Philip Morris meminta pengadilan membatalkan merek Clear.
Sejak gugatan yang didaftarkan 27
Agustus lalu dan persidangan terbuka di pengadilan, Japan Tobacco tidak pernah
muncul. Padahal sudah dipanggil oleh hakim.
Kasus mengenai
Pepsi’s Burma Connetion
Pada tanggal 23 April 1996,
PepsiCo mengumumkan bahwa pihaknya memutuskan untuk menjual 40 persen saham di
pabrik botol Burma karena adanya kritik yang menyatakan bahwa dengan beroperasi
di Burma, perusahaan berarti mendukung rezim militer yang berkuasa.
Burma adalah sebuah Negara Asia
dengan populasi 42 juta jiwa dan dengan wilayah seukuran Texas. Negara ini
berbatasan dengan India, Cina, Thailand dan Laos. Negara ini termasuk Negara
miskin dengan GDP per kapita hanya sebesar $408, tingkat mortalitas bayi yang
tinggi, tingkat harapan hidup yang rendah serta tingkat inflasi di atas 20%.
Pada bulan September 1988,
militer di bawah pimpinan jenderal U. Saw Maung mengambil alih kekuasaan dan
menggantikan pemerintahan dengan State Law and Order Restoration Council
(SLORC), sekelompok pejabat militer. SLORC mengundang investor dan
perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi di Burma dengan harapan mampu
memperbaiki kondisi perekonomian Negara.
PepsiCo merupakan salah satu dari
sekian banyak perusahaan yang menanggapi undangan SLORC. Negara ini dianggap
menarik karena beberapa alasan. Tidak hanya karena tenaga kerja yang sangat
murah, namun juga karena budayanya memberikan nilai yang sangat tinggi pada
pendidikan, dan hampir semua pekerja memilki kemampuan baca tulis.
Akan tetapi, pihak manajemen
PepsiCo tertarik dengan undangan pemerintah untuk melakukan investasi di Burma.
Pada tahun 1991, PepsiCo memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan Myanmar
Golden Star Co., sebuah perusaaan Burma yang dimiliki oleh pengusaha Burma
bernama Thein Tun. Perusahaan ini memilki 60% saham, sementara PepsiCo 40%
lainnya. Kerjasama ini ditujukan untuk membangun sebuah pabrik botol dengan
lisensi 10 tahun untuk mendistribusikan produk-produk PepsiCo di Burma,
termasuk Pepsi Cola, 7 up, dan Miranda.
Namun di Amerika, para kritikus
mempertanyakan etika melakukan bisnis di Burma. Para pemegang saham perusahaan
menyerahkan beberapa resolusi yang mendesak manajemen PepsiCo untuk keluar dari
Burma, dan perusahaan sendiri menerima ratusan surat yang isinya meminta mereka
pergi dari Burma.
Lebih jauh lagi, banyak
perusahaan Amerika di Burma yang terlibat dalam apa yang disebut sebagai countertrade (sistem
perdagangan internasional dimana Negara-negara bertukar barang atau jasa
daripada membayar impor dengan mata uang), yang menurut beberapa kritikus
berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja paksa yang banyak terjadi di wilayah
pedesaaan. PepsiCo sendiri mengaku terlibat dalam countertradeseperti yang
dilakukan banyak perusahaan lainnya.
Dan pada tahun 1992, Levi Strauss
menarik diri dari Burma, dan mengatakan “tidak mungkin melakukan bisnis di
Burma tanpa mendukung secara langsung pemerintah militer beserta
pelanggaran-pelanggaran HAM yang mereka lakukan.” Pada tahun 1994, Reebok dan
Liz Claiborne melakukan hal yang sama dan mengatakan bahwa mereka tidak dapat
menjalankan bisnis di Burma sampai “terjadi perbaikan-perbaikan signifikan
kondisi HAM di Burma.” Pada tahun 1995, Eddie Bauer dan Amoco juga keluar,
sambil menyatakan tentang semakin besarnya tekanan yang diterima perusahaan di
Amerika atas keterlibatan mereka di Burma.
Tekanan yang dialami PepsiCo
untuk meninggalkan Burma akhirnya meyakinkan perusahaan pada tahun 1996 untuk
melakukan divestasi atas saham pabrik botol Burma. Tahun 1997, perusahaan
menjual sahamnya pada Thin Tun, namun PepsiCo memutuskan untuk tetap mematuhi
perjanjian memberikan lisensi 10 tahun pada perusahaan botol tersebut untuk
menjual Pepsi di Burma dan memberikan bahan baku pembuatan Pepsi. Para kritikus
mengatakan bahwa tindakan setengah-setengah ini berarti PepsiCo masih melakukan
bisnis di Burma dan berjanji akan terus memberikan tekanan pada perusahaan.
Sumber :
0 comments:
Post a Comment